Selasa, 17 Desember 2019

Artikel Ilmiah Populer



Pejuang Jakarta
Farij Altaf Syah – Teknik Informatika

Berdesakan dan bermacet ria dilalui demi mencari nafkah untuk keluarga.

“Pejuang Jakarta”, itulah namanya. Yang dimaksud di sini itu bukan pejuang zaman penjajahan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, tetapi para pencari nafkah dari kota satelitnya Jakarta atau bisa disebut Bodetabek. Mungkin salah satu dari anggota keluarga anda termasuk sebagai pejuang ini. Atau mungkin anda sendiri. Perjuangan mereka untuk berangkat dan pulang kerja menginspirasi saya untuk membuat artikel ini, dari yang menggunakan transportasi umum dan kendaraan bermotor.

Saya ingat ada yang pernah berkata, “Kadang saya berpikir kalau para pencari nafkah di Jakarta digaji bukan hanya karena pekerjaannya, tetapi juga karena perjuangannya untuk berangkat ke tempat kerja”. Ungkapan ini sangat cocok untuk mereka yang berdesakan saat berangkat kerja. Rela berdesakan di kereta ataupun bus TransJakarta demi menafkahi kebutuhan hidupnya. Tidak sampai disitu, mereka juga berdesakan saat ingin pulang ke rumah. Tentu tidak mudah meniatkan diri untuk berdesakan tiap hari. Banyak yang baru bekerja di Jakarta tetapi memilih untuk menggunakan kendaraan bermotor untuk pergi bekerja karena tidak kuat berdesakan. Bahkan ada yang berhenti bekerja di Jakarta karena tidak kuat menghadapi kerasnya ibu kota.

      Para “Pejuang Jakarta” ini memiliki kesabaran yang tinggi. Kondisi transportasi umum yang memang belum bisa dibilang baik karena banyaknya gangguan yang terjadi. Para pengguna bus TransJakarta harus sangat bersabar di jam pergi atau pulang kerja. Bagaimana tidak, TransJakarta yang sudah diberi jalur khusus di jalanan ibu kota masih saja terjebak kemacetan karena banyak kendaraan bermotor yang menerobos ke jalur bus TransJakarta. Dalam kondisi yang berdesakan tentu ini sangat menyiksa. Pendingin ruangan yang tidak terasa sejuk, terbatasnya ruang untuk bernafas, dan bau antar penumpang yang bercampur. Prama Wiratama, seorang penulis dari kompasiana mengatakan ditulisannya bahwa naik angkutan umum adalah model perjuangan masa kini.
“Perjuangan memang tak pernah ringan. dan tak semua orang bernyali untuk jadi pejuang. make it real”. (Wiratama, Prama. https://www.kompasiana.com/pramawiratama/550e9583813311ba2cbc641e/naik-kendaraan-umum-model-perjuangan-masa-kini, 25 Juni 2015).
Pengguna transportasi umum adalah seorang pejuang yang berjuang dengan sangat keras di ibu kota. Tidak mudah untuk menahan rasanya berdesakan di transportasi umum.

Saya tidak hanya memihak ke pengguna transportasi umum di tulisan ini. Saya juga menganggap pengguna kendaraan bermotor sebagai “Pejuang Jakarta”. Kenapa? Bukannya mereka mencemari udara di Jakarta? Mari kita abaikan dulu pencemaran udara yang mereka lakukan. Kita lihat perjuangan mereka untuk menembus kemacetan ibu kota walaupun memang mereka yang menyebabkan kemacetan tersebut. Kemacetan di tengah terik panas mentari, asap knalpot yang mengepung, suara klakson yang membuat telinga berdengung, mereka berjuang untuk melewati itu semua.

Tidak semua orang tahan akan kemacetan, dibutuhkan kekuatan dan kesabaran untuk melewati ini semua. Panasnya jalanan bisa membuat orang pingsan kapan saja. Asap kendaraan mengancam kesehatan paru-paru mereka. Apapun mereka lakukan demi sampai ke tempat kerja. Menerobos jalur bus TransJakarta walaupun mereka tahu itu dilarang, menyalip kendaraan besar walaupun itu mengancam nyawa mereka, dan banyak lagi hal beresiko tinggi yang mereka lakukan demi mencari nafkah. Kemacetan membuat para pejuang ini terlalu lama menghabiskan waktu di jalanan. Dari hasil survey Uber bekerja sama dengan Boston Consulting Group pada tahun 2017, mengungkapkan bahwa dalam setahun, orang Jakarta habiskan 22 hari di jalan. Ini mengancam kesehatan mereka. Karena terlalu lama terjebak dalam kemacetan mempunyai dampak terhadap otak manusia. Hal ini diambil dari hasil sebuah penelitian kesehatan yang dibiayai Health Canada terhadap kesehatan neurologis populasi Ontario yang terdiri dari jutaan penduduk dewasa. Sangat keras memang perjuangan para “Pejuang Jakarta” ini.

Kehidupan di ibu kota sangatlah keras. Mari kita siapkan untuk hal ini. Bukan hanya mempersiapkan akademik, tetapi juga fisik dan mental untuk menjadi “Pejuang Jakarta”. Tidak ada cara yang nyaman untuk berjuang di ibu kota maupun di tempat lain. Seperti yang dikatakan Colin Powell, “Sebuah mimpi tidak akan menjadi kenyataan melalui sihir, dibutuhkan keringat, tekad, dan kerja keras”.